Puisi Sang Jejaka Oleh Jayanto Halim Tjoa

J

Puisi Sang Jejaka

© Jayanto Halim Tjoa

Pada setiap bait puisi terselipkan sekiranya sebongkah perasaan;
Yang terlampau ranum dan candu bagi seorang jejaka;
Yang seyogiyanya telah lama berkutat dalam keasingan dunianya;
Dalam larik-larik puisi ia gambarkan setiap kesempurnaan;
Yang tergambar dari elokan tubuh dan senyum seorang wanita;

Seiring penggantungan tanyanya akan kekosongan hidup;
Lalu lagi ia putuskan untuk kembali berpulang dari kehampaan;
Membuka lebar-lebar pintu hati yang telah lama tertutup rapat;
Seperti bibir-bibir sungging yang terus mencibir;
Walau tiada satu setan pun yang tahu rahasia kita;

Dan jejaka itu kembali menulis puisi;

Akan tiba saatnya jua;
Ketika perasaan tertambat di kaki seorang wanita ;
Yang secara munafik mempermainkan kehidupan;
Laksana sebuah guratan abstrak bermakna besar;
Laksana sepenggal melodi cinta tak tertebak;
Seorang penyair melantunkan puisi rayuan dalam debar;

Ia ingin menjadi sesemilir angin, untuk terus bisa memeluk lekuk tubuh wanita itu;
Ia ingin menjadi sepijar cahaya, agar terus mampu menerangi kesedihan wanita itu;
Ia ingin menjadi tetesan air hujan, agar ia mampu menghapus segala lara dan luka wanita itu;
Namun ia bukanlah siapa-siapa yang memiliki kuasa akan kehidupan wanita itu;
Ia hanyalah seorang jejaka yang selalu ada dan mendamba wanita itu;

Berapa banyak lagi puisi cinta yang akan lahir dari penghayatan rasa jejaka ini?
Berapa banyak lagi wanita yang akan lahir dari rahim puisi cinta jejaka ini?
Atau mungkin wajah penuh amarah dan kesedihan yang akan terlukis di wajah jejaka ini?
Atau bisa jadi hati penuh luka dan melebam yang akan ada di hati jejaka ini?

Tapi bukankah kita terlahir akan sebuah alasan;
Seperti cinta yang sekiranya tumbuh bersama dengan lorong-lorong waktu yang gulita;
Wanita itu merupakan bunga yang mekar di hati jejaka ini;

Jejaka itu pun menghentikan puisinya;

Melangkah menghitung detik yang menimbun luka tanpa kata;
Memang tak perlu lagi ada tanya tentang berapa, apa dan bagaimana;
Hingga waktu bertanya dalam bahasanya, sampai di manakah perahu ini akan berlayar ?
Memecah rindu-rindu menuju jalan kembali pada tanah asal.


Berapa nilai untuk puisi ini ?

Beri nilai dengan tap jumlah bintang dibawah ini. Dari kiri ke kanan 1 sampai 10

Average rating 0 / 10. Vote count: 0

Belum ada yang memberi nilai, jadilah yang pertama!

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *